25.6.13

Makna Mahar dan Dasar Hukumnya

Mahar secara etimologi adalah maskawin, sedangkan menurut terminologi adalah pemberian wajib dari calon suami kepada calon istri sebagai ketulusan hati calon suami untuk menimbulkan rasa cinta kasih bagi sang isteri kepada calon suami. Mahar disebut juga dengan istilah yang indah, yakni shidaq, yang berarti kebenaran. Jadi makna mahar lebih dekat kepada syari’at agama dalam rangka menjaga kemuliaan peristiwa suci. Mahar adalah syarat sahnya perkawinan yang memberi pengaruh apakah sebuah pernikahan akan barakah atau tidak.

Pemberian mahar tersebut juga merupakan tanda kehormatan bagi kaum wanita dimana hak mereka pada zaman Jahiliyah dihilangkan dan disia-siakan, sehingga walinya dengan semena-mena menggunakan hartanya dan tidak memberikan kesempatan untuk mengurus hartanya. Padahal mahar adalah hak mutlak bagi mereka ketika akan menjadi calon isteri. Dan orang dekat sekalipun tidak dibenarkan menjamah hartanya tersebut, kecuali dengan ridhonya dan kemampuannya sendiri. Allah berfirman:

“Berikanlah maskawin (mahar) kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai pemberian dengan penuh kerelaan. kemudian jika mereka menyerahkan kepada kamu sebagian dari maskawin itu dengan senang hati, Maka makanlah (ambillah) pemberian itu (sebagai makanan) yang sedap lagi baik akibatnya.” (An-Nisa’: 4)

Namun bila isteri memberikan maharnya dalam keadaan takut, malu, atau terpaksa maka tidak halal menerimanya. Allah berfirman:

“Dan jika kamu ingin mengganti isterimu dengan isteri yang lain, sedang kamu telah memberikan kepada seseorang di antara mereka harta yang banyak, Maka janganlah kamu mengambil kembali dari padanya barang sedikitpun. Apakah kamu akan mengambilnya kembali dengan jalan tuduhan yang Dusta dan dengan (menanggung) dosa yang nyata ?”

Maksudnya Ialah menceraikan isteri yang tidak disenangi dan kawin dengan isteri yang baru. Sekalipun ia menceraikan isteri yang lama itu bukan tujuan untuk kawin, Namun meminta kembali pemberian-pemberian itu tidak dibolehkan.

1) Pendapat ulama tentang hukum mahar.
Imam Syafi’i berpendapat bahwa mahar adalah suatu yang wajib diberikan oleh seorang laki-laki kepada perempuan untuk dapat menguasai seluruh anggota badannya. Hal ini bukan berarti bahwa kehormatan seorang perempuan dinilai atau sebanding dengan nilai materi dari mahar yang ia inginkan. Karena fungsi mahar itu adalah untuk menghalalkan seorang istri terhadap suaminya.
Sedangkan imam Maliki mengatakan mahar adalah rukun nikah, sehingga hukumnya adalah wajib. 
Hanafi berpendapat bahwa hukumnya boleh. Sebab mahar tidak termasuk dalam rukun dan sahnya perkawinan.

2) Hukum perkawinan dengan syarat tanpa mahar.
Bila seseorang menikah tanpa menetapkan jumlah maharnya lebih dahulu atau bahkan mensyaratkan tanpa mahar sama sekali, maka Malik dan Ibnu Hazm berpendapat pernikahan itu tidak sah. Jika ada syarat tanpa mahar sama sekali , maka perkawinannya batal. Karena Rasul bersabda bahwa setiap syarat diluar ketentuan Allah adalah batal.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Tulis komentar anda disini